Tidak dapat
dipungkiri bahwa kehadiran seorang Akuntan Publik merupakan suatu hal yang
sangat penting, khususnya bagi aktivitas berbisnis secara sehat di Indonesia.
Hasil penelitian, analisa serta pendapat dari Akuntan Publik terhadap suatu
laporan keuangan sebuah perusahaan akan sangat menentukan dasar pertimbangan
dan pengambilan keputusan bagi seluruh pihak ataupun publik yang
menggunakannya. Misalnya; para investor dalam mempertimbangkan serta bahkan
memutuskan kebijakan investasinya, para penasehat keuangan ataupun investasi
dalam memberikan arahan pada para investor terhadap keadaan dan prospek dari
perusahaan tersebut, para pemberi pinjaman (lenders) dalam mempertimbangkan
serta memutuskan langkah pemberian ataupun penghentian pinjaman bagi perusahaan
tersebut.
Peran Akuntan Publik lainnya adalah fasilitator dalam menghadirkan dirinya
untuk memfasilitasi setiap potensi aktivitas bisnis yang melibatkan perusahaan
tersebut, pelanggan dalam mempertimbangkan hubungan sekarang dan kedepannya
dengan perusahaan tersebut, pemerintah dalam memberikan pertimbangan hubungan
bisnis ataupun pemberian izin ataupun kualifikasi sehubungan dengan aktivitas
berbisnis dari perusahaan tersebut bahkan karyawan dari perusahaan tersebut
sendiri misalnya, dalam melihat masa depan dari keberadaannya dalam perusahaan
tersebut serta masyarakat lainnya.
Kewajiban Hukum Akuntan Publik dalam Pelaksanaan Audit
Kewajiban
bagi sebuah perusahaan untuk memberikan gambaran yang benar tentang status
kesehatan keuangannya, sangat berhubungan dengan konsekuensi hukum dari
aktivitas berbisnis (sebagai suatu hubungan hukum). Dimana konsekuensi hukum
itu mengharuskan masing-masing pihak yang terikat didalamnya untuk dapat
memenuhi setiap kewajiban yang diikatkan kepadanya, tepat seperti yang telah disepakati. Dalam keadaan yang
terburuk, kegagalan dalam pemenuhan kewajiban tersebut, baik sebagai akibat
dari tindakan wan prestasi (1243 KUHPerdata) ataupun Perbuatan Melawan Hukum
(1365 KUH Pedata) yang secara hukum (by law) berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata,
akan memberikan konsekuensi penghukuman bagi pihak yang telah melakukan
tindakan wanprestasi ataupun melawan hukum tersebut untuk membayar seluruh
kerugian dari pihak-pihak yang dirugikan dengan menggunakan seluruh harta
miliknya, tidak saja yang telah ada akan tetapi juga yang akan ada.
Apabila adanya tuntutan
ke pengadilan yang menyangkut laporan keuangan menurut Loebbecke dan Arens
serta Boynton dan Kell yang telah diolah oleh Azizul Kholis, I Nengah Rata, Sri
Sulistiyowati dan Endah Prepti Lestari (2001) adalah sebagai berikut:
· Kewajiban
kepada klien (Liabilities to Client) Kewajiban akuntan publik terhadap klien
karena kegagalan untuk melaksanakan tugas audit sesuai waktu yang disepakati,
pelaksanaan audit yang tidak memadai, gagal menemui kesalahan, dan pelanggaran
kerahasiaan oleh akuntan public.
· Kewajiban
kepada pihak ketiga menurut Common Law (Liabilities to Third party) Kewajiban
akuntan publik kepada pihak ketiga jika terjadi kerugian pada pihak penggugat
karena mengandalkan laporan keuangan yang menyesatkan.
· Kewajiban
Perdata menurut hukum sekuritas federal (Liabilities under securities laws)
Kewajiban hukum yang diatur menurut sekuritas federal dengan standar yang
ketat.
· Kewajiban
kriminal (Crime Liabilities) Kewajiban hukum yang timbul sebagai akibat
kemungkinan akuntan publik disalahkan karena tindakan kriminal menurut
undang-undang.
Sedangkan
kewajiban hukum yang mengatur akuntan publik di Indonesia secara eksplisit
memang belum ada, akan tetapi secara implisit hal tersebut sudah ada seperti
tertuang dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), Standar Akuntansi
Keuangan (SAK), Peraturan- Peraturan mengenai Pasar Modal atau Bapepam, UU
Perpajakan dan lain sebagainya yang berkenaan dengan kewajiban hukum akuntan
(Rachmad Saleh AS dan Saiful Anuar Syahdan,2003). Keberadaan perangkat hukum
yang mengatur akuntan publik di Indonesia sangat dibutuhkan oleh masyarakat
termasuk kalangan profesi untuk melengkapi aturan main yang sudah ada..
Dari uraian diatas,
dapat disimpulkan bahwa kewajiban hukum bagi seorang akuntan publik adalah
bertanggung jawab atas setiap aspek tugasnya sehingga jika memang terjadi
kesalahan yang diakibatkan oleh kelalaian pihak auditor, maka akuntan publik
dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum sebagai bentuk kewajiban hukum
auditor. Tanggapan Profesi Terhadap Kewajiban Hukum AICPA dan profesi
mengurangi resiko terkena sanksi hukum dengan langkah-langkah berikut :
Riset dalam auditing
Penetapan standar dan
aturan.
Menetapkan persyaratan
untuk melindungi auditor
Menetapka persyaratan
penelaahan sejawat .
Melawan tuntutan hokum.
Pendidikan bagi pemakai
laporan.
Memberi sanksi kepada
anggota karena hasil kerja yang tak pantas.
Perundingan untuk
perubahan hukum.
Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Moral
Pertanggungjawaban
seorang Akuntan Publik terhadap kepercayaan publik yang diberikan kepadanya,
menjadi dasar keharusan hadirnya kualitas kebenaran dari setiap hasil audit
ataupun pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukannya. Keharusan dalam
memenuhi standar kualitas kebenaran tersebut, akan sangat berhubungan dengan
kemampuan yang dimilikinya sebagai seorang professional yang mandiri.
Jika melihat
seluruh persyaratan yang wajib harus dipenuhi bagi seseorang untuk menjadi
seorang Akuntan Publik, termasuk juga persyaratan yang harus dipenuhi dalam
memberikan jasa pelayanannya seperti yang diatur dalam pasal 5 hingga pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) RI No. 17/PMK.01/2008, maka secara teori seharusnyalah keberadaan dan
hasil kerja dari Akuntan Publik tidak perlu diperdebatkan lagi tentang akurasi
dan kebenarannya.
Begitu
ketatnya persyaratan yang harus dilalui untuk mendapatkan izin dan kewenangan
untuk melaksanaan profesi Akuntan Publik, yang melibatkan kewenangan dari dua
lembaga yakni Institut Akuntan Publik
Indonesia (IAPI) dalam menyatakan kelayakan kualitas keilmuan dan penerapan
kode etik profesi seorang Akuntan Publik, dan Menteri Keuangan RI dalam
melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Akuntan Publik begitu juga dengan
Kantor Akuntan Publik (KAP) menggambarkan sudah seharusnyalah hasil kerja dari seorang akuntan publik
akan memberikan perlindungan pada setiap anggota masyarakat yang mengunakan
ataupun meletakkan kepercayaan kepadanya dalam proses pengambilan keputusan.
Lebih jauh,
dalam langkah penataan dan peningkatan kualitas keilmuan dan juga independensi
dari seorang Akuntan Publik, Menteri Keuangan dalam fungsi pengawasan terhadap
Akuntan Publik serta juga IAPI dalam fungsi pengawasan dan pembinaan Akuntan
Publik yang menjadi anggotanya, telah pula membangun begitu banyak
ketentuan-ketentuan baik dalam ketentuan Standar Akutansi Keuangan, Standar
Profesi Akuntan Publik (SPAP), Kode Etik Profesi Akuntan Publik, dan rangkaian
pola pelatihan professional berkelanjutan, seharusnya sudah semakin memberikan
jaminan pencapaian kualitas yang dimaksud tersebut.
Akan tetapi
nyatanya, dalam masyarakat masih saja terus terjadi tudingan terhadap
ketidakprofesionalan dari seorang Akuntan Publik. Hal itu terlihat dengan
begitu seringnya Menteri Keuangan RI menjatuhkan sanksi peringatan hingga
sanksi pembekuan izin dari Akuntan Publik seperti pada kasus-kasus yang terjadi
pada bank-bank bermasalah ataupun yang telah dibekukan beberapa waktu lalu dan
juga baru-baru ini.
Dampaknya
menimbulkan begitu banyak kerugian bagi pihak-pihak yang telah secara salah
mengambil keputusan-keputusan, akibat kepercayan yang diletakkan terhadap hasil
pekerjaan Akuntan Publik tersebut. Begitu pula dalam aktivitas profesinya yang
berhubungan dengan pernyataan laporan keuangan perusahaan terbuka di pasar
modal, yang sangat menimbulkan kerugian bagi pemegang saham publik dan pihak-pihak
yang menggunakan hasil audit laporan keungan emiten tersebut sebagai dasar
pengambilan keputusan.
Pelangaran-pelangaran
profesi yang terjadi dalam praktek dalam banyak perdebatan, diduga dan bahkan
telah terbukti tidak hanya dikarenakan kegagalan ataupun ketidakmampuan ataupun
kelalaian dari Akuntan Publik untuk melakukan pemeriksaan ataupun audit laporan
Keuangan berdasarkan SPAP sebagai suatu panduan teknis yang wajib dipatuhi oleh
setiap Akuntan Publik dalam memberikan jasanya, akan tetapi lebih
dilatarbelakangi oleh motif-motif yang berhubungan dengan konflik kepentingan
pribadi antara Akuntan Publik dengan perusahaan yang diperiksanya. Atau bahkan
lebih buruk lagi penggunaan Akuntan Publik tersebut untuk memenuhi kebutuhan
dari perusahaan yang menggunakannya.
Keadaan
seperti itu memang membuat ilmu ataupun kemampuan menjadi tidak berarti. Karena
manakala kecerdasan moral dari Akuntan Publik tersebut tidak membentengi
kecerdasan intelektualnya dengan baik, maka akan sangat mudah deviasi profesionalitas
tersebut terjadi. Sehingga pelaksanaan tugas atas dasar prinsip intregritas,
prinsip objektivitas, prinsip kompetensi dan kehati-hatian serta prinsip
kerahasiaan tidak lagi dilaksanakan
dengan berbagai ragam alasan dan tujuan tanpa memperdulikan lagi akibatnya bagi
pengguna. Hal seperti ini tidak saja mungkin terjadi pada profesi Akuntan
Publik, akan tetapi bisa saja terjadi pada siapapun, seperti terhadap profesi
Advokat, Appraisal, Adjuster, dan profesi-profesi ataupun pengemban jabatan lainnya.
Aktivitas-aktivitas
dari Akuntan Publik yang tidak benar serta dilakukan dengan melanggar kode etik
profesi serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku, tidak saja akan
memelihara bola ketidakpercayaan masyarakat terhadap profesi Akuntan publik
seperti yang telah terdapat dalam masyarakat selama selama ini, akan tetapi
akan memberikan konsekuensi semakin sulitnya seorang akuntan publik untuk
mendapatkan kesempatan-kesempatan kerja dalam penggunaan jasanya oleh
masyarakat pengguna.
Tanggung Jawab Hukum Akuntan Publik
Dalam hal
terjadinya pelangaran yang dilakukan oleh seorang Akuntan Publik dalam
memberikan jasanya, baik atas temuan-temuan bukti pelanggaran apapun yang
bersifat pelanggaran ringan hingga yang bersifat pelanggaran berat, berdasarkan PMK No.
17/PMK.01/2008 hanya dikenakan sanksi administratif, berupa: sanksi peringatan, sanksi pembekuan
ijin dan sanksi pencabutan ijin seperti yang diatur antara lain dalam pasal 62,
pasal 63, pasal 64 dan pasal 65.
Penghukuman dalam
pemberian sanksi hingga pencabutan izin baru dilakukan dalam hal seorang
Akuntan Publik tersebut telah melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
SPAP dan termasuk juga pelanggaran kode etik yang ditetapkan oleh IAPI, serta
juga melakukan pelanggaran peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan dengan bidang jasa yang
diberikan, atau juga akibat dari pelanggaran yang terus dilakukan walaupun
telah mendapatkan sanksi pembekuan izin sebelumya, ataupun tindakan-tindakan
yang menentang langkah pemeriksaan sehubungan dengan adanya dugaan pelanggaran
profesionalisme akuntan publik.
Akan tetapi,
hukuman yang bersifat administratif tersebut walaupun diakui merupakan suatu
hukuman yang cukup berat bagi eksistensi dan masa depan dari seorang Akuntan
Publik ataupun KAP, ternyata masih belum menjawab penyelesaian permasalahan
ataupun resiko kerugian yang telah diderita oleh anggota masyarakat, sebagai
akibat dari penggunaan hasil audit dari Akuntan Publik tersebut.
Ambil satu
contoh terhadap fakta tentang sebuah KAP yang membantu sebuah perusahaan
(debitur sebuah bank BUMN yang sebenarnya telah mengalami kerugian yang sangat
dalam dan sudah sangat sulit untuk melanjutkan operasinya) untuk mendapatkan
tambahan kredit dari bank tersebut dengan cara merekayasa laporan keuangannya,
sehingga pada hasil akhirnya ditampilkan dalam keadaan masih memperoleh laba,
dimana pada akhirnya, semua langkah rekayasa laporan keuangan tersebut terbuka
ketika debitur tersebut dinyatakan pailit. Bank tersebut jelas mengalami
kerugian akibat dari keyakinannya terhadap hasil audit Akuntan Publik terhadap
laporan keuangan dari debiturnya tersebut. Jika Bank tersebut mengetahui status
yang sebenarnya dari debiturnya tersebut, maka Bank itu tidak akan memberikan
pinjaman tambahan terhadap debiturnya tersebut.
Dalam hal
ini, Penulis berpendapat bahwa Bank tersebut mempunyai dasar hukum untuk
meminta pertanggungjawaban perdata, yaitu pembayaran ganti rugi dari Akuntan
Publik tersebut. Hal ini diatur secara tegas dalam pasal 44 PMK No. 17/PMK.01/2008. Inti peraturan itu bahwa Akuntan
Publik atau KAP bertanggung jawab atas seluruh jasa yang diberikannya. Tanggung
jawab dari Akuntan Publik terhadap konsekuensi dari hasil Audit Laporan
Keuangan yang dilakukannya yang dimaksud dalam pasal 44 tersebut walaupun
berdasarkan PMK itu hanya terbatas pada pemberian sanksi administrasi, akan
tetapi berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata mewajibkan Akuntan Publik untuk
mengganti kerugian yang dialami oleh Bank sebagai konsekuensi dari tindakan melawan hukum yang
telah dilakukannya, sehubungan dengan Laporan Keuangan yang hadir secara
menyesatkan tersebut.
Lebih jauh
diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata bahwa pertangungjawaban, dalam konteks
tulisan ini, seorang Akuntan Publik terhadap
pihak yang dirugikan, tidak saja untuk kerugian yang dialami oleh pihak
yang dirugikan tersebut sebagai akibat dari perbuatannya, akan tetapi termasuk
juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian ataupun kekurang hati-hatiannya.
Dan dalam pasal 1367 KUHPerdata bahwa Akuntan Publik juga bertanggungjawab
terhadap perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Dari
ketentuan KUHPerdata tersebut, dapat di pahami bahwa walaupun seorang Akuntan
Publik telah mendapatkan sanksi administrasi sebagai konsekuensi dari
pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud dalam
pasal 62, pasal 63, pasal 64, dan pasal 65 PMK No. 17/PMK.01/2008, akan
tetapi tetap saja pertangungjawaban untuk mengganti-kerugian pihak-pihak yang
dirugikan akibat dari pelanggaran tersebut dapat dilakukan oleh pihak-pihak
yang berhak atas pemenuhan ganti rugi tersebut berdasarkan pasal 1365
KUHPerdata. Sayangnya, atas waktu yang terbatas, penulis belum sempat melakukan
penelitian empiris, apakah ada kasus-kasus dimana pihak-pihak pengguna Laporan
Keuangan yang disajikan oleh Akuntan Publik, secara melawan hukum pernah
melakukan gugatan perdata berdasarkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum seperti
yang dijelaskan tersebut di atas.
Sehubungan
dengan kewajiban untuk mengganti kerugian sebagai akibat dari Perbuatan Melawan
Hukum itu, maka langkah pemenuhan dari ganti kerugian tersebut berdasarkan
pasal 1131 KUHPerdata, mengatur sebagai berikut: Segala kebendaan siberutang,
baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan. Pasal itu jelas mengatur bahwa harta pribadi dari pihak yang
dihukum untuk membayar ganti rugi lah yang digunakan untuk membayar ganti
kerugian akibat Perbuatan Melawan Hukum tersebut.
Sehubungan
dengan tanggungjawab perdata tersebut, sangat perlu kiranya diperhatikan bentuk
dari badan usaha suatu KAP. Berdasarkan pasal 16 PMK No.17/PMK.1/2008, sebuah
KAP hanya dapat berbentuk Perseorangan
ataupun Persekutuan Perdata atau Persekutuan Firma. Mengingat badan
usaha yang menjadi dasar dari KAP tersebut bukanlah berbentuk badan hukum, maka
tanggung jawab terhadap kewajiban untuk mengganti kerugian terhadap pihak yang
dirugikan, sesuai dengan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata, dibebankan kepada
pribadi dari anggota persekutuan tersebut secara tanggung renteng. Dengan
pengertian lain, bahwa harta yang akan menjadi jaminan pembayaran terhadap
pemenuhan ganti-ganti rugi tersebut adalah harta pribadi dari masing-masing
Akuntan Publik dalam hal KAP yang merupakan badan usaha dalam menjalankan
Jasanya berbentuk Perorangan ataupun Persekutuan Perdata ataupun Persekutuan
Firma.
Dalam
ketentuan hukum Indonesia, tidak dikenal adanya pembatasan pertanggunganjawaban
pribadi dari anggota persekutuan perdata, baik yang berbentuk firma ataupun non
firma. Artinya dalam hal total dari nilai kerugian yang dibebankan kepadanya
tersebut tidak mencukupi untuk dibayarkan dari hartanya, maka ada kemungkinan
seorang Akuntan Publik untuk dapat dipailitkan secara pribadi sepanjang
ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) dari Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terpenuhi. Berbeda halnya
di Amerika dan beberapa Negara lainnya, yang mengenal adanya pembatasan
pertanggungjawaban dari anggota persekutuan perdata dalam suatu badan usaha
yang berbentuk Limited Liability Partnership (LLP).
Potensi
pertanggungjawaban secara pribadi ini harus menjadi perhatian yang
sungguh-sungguh dipahami oleh setiap Akuntan Publik untuk dapat kiranya
menghindarkan setiap sikap-sikap yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan pengaturan Kode etik profesi Akuntan
Publik yang berlaku.
Selain konsekuensi Perdata, pelanggaran sikap
profesionalisme yang dilakukan oleh Akuntan Publik juga dapat memberikan akibat
yang bersifat pidana. Pada dasarnya hal ini telah diusulkan oleh pemerintah
dalam Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik yang saat ini telah berada dalam
tahap pembahasan akhir. Dimana selain konsekuensi yang bersifat hukuman sanksi
administratif, antara lain dalam pasal 46 RUU Akuntan Publik tersebut yang
memberikan konsekuensi pidana untuk waktu maksimum 6 tahun dan denda maksimum
Rp 300 juta bagi Akuntan Publik yang terbukti: (a) melanggar pasal 32
ayat 6 yang isinya mewajibkan seorang Akuntan Publik untuk mematuhi SPAP serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana pelanggar terhadap hal
tersebut telah menimbulkan kerugian bagi pihak lain; (b) menyatakan
pendapat atas Laporan Keuangan tidak berdasarkan bukti audit yang sah, relevan
dan cukup.
Kemudian (c) melanggar ketentuan asal 37
ayat (1) huruf g dengan melakukan tindakan yang mengakibatkan kertas kerja dan
sokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan pemberian jasa tidak apat digunakan
sebagaimana mestinya, dan juga huruf j dalam melakukan manipulasi data yang
berkaitan dengan jasa yang diberikan; (d) Atau memberikan pernyataan
tidak benar, dokumen also atau dokumen yang dipalsukan untuk mendapatkan atau
memperbaharui ijin Akuntan Publik atau untuk mendapatkan ijin usaha KAP atau
ijin pendirian cabang KAP.
Ketentuan pidana tersebut secara tegas ditentang
oleh IAPI secara khusus terhadap pengenaan akibat pidana dalam hal
terbukti seorang Akuntan Publik dalam menjalankan tugas profesinya tidak
melakukannya berdasarkan ketentuan yang telah diatur dalam SPAP. Padahal,
konsekuensi dari pelanggaran SPAP tersebut dimata para akuntan publik
seharusnya merupakan suatu pelanggaran yang bersifat administratif sehingga
sepantasnya dikenakan ketentuan sanksi administratif bukan tindakan pidana.
Pada dasarnya, walaupun ketentuan pidana tidak
diatur dalam PMK No.17/PMK.01/2008 dan RUU Akuntan Publik, tetap saja tindakan
pelanggaran yang dilakukan oleh Akuntan Publik untuk berprofesi secara
profesional membuka potensi untuk dipidanakan oleh orang-orang yang dirugikan
olehnya. Misalnya
dalam hal terjadinya kedekatan yang sangat antara Akuntan Publik tersebut
dengan klien, atau bahkan juga mungkin pemilik ataupun Akuntan Publik tersebut
mempunyai hubungan keluarga langsung terhadap klien yang menggunakan jasanya
tersebut, ataupun Akuntan Publik tersebut mendapatkan imbalan khusus. Sehingga
dapat saja seorang Akuntan Publik melakukan tindakan kejahatan bahkan antara
lain dengan cara memalsukan surat seperti yang diatur dalam pasal 263 dan pasal
264 KUHP, ataupun melakukan penipuan
ataupun kebohongan seperti yang diatur dalam pasal 378 KUHP, yang dapat dikutip
sebagai berikut:
Pasal 263
(1) KUHP: Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat
menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan
sebagai bukti dari suatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang
lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam,
jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat,
dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.
Pasal 378
KUHP: Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan
tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebiohongan , mengerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, supaya member utang maupun
menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara palaing
lama 4 tahun.
Atau jikapun
Akuntan Publik tidak melakukan tindak kejahatan tersebut secara langsung akan
tetapi keterlibatannya dalam tindak pidana kejahatan pemalsuan surat ataupun
penipuan tersebut dilakukan dengan cara turut melakukan ataupun membantu melakukan
seperti yang diatur dalam pasal 55 dan 56 KUH Pidana, yang dikutip sebagai
berikut:
Pasal 55
ayat (1) KUHP: Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana: Ke-1,
mereka yang melakukan menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan;
Ke-2, mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman
ataupenyesatan, atau dengan member kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Pasal 56
KUHP: Dipidana sebagai pembantu (medepichtige) suatu kejahatan: Ke-1,
mereka yang sengaja membri bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; Ke-2,
Mereka yang sengaja member kesempata, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Mengingat
ketentuan hukum pidana telah diatur secara umum dalam KUHP, pertanggungjawaban
secara pidana tidak perlu harus terlebih dahulu diatur dalam UU Akuntan Publik,
karena secara umum, tindakan-tindakan yang berhubungan dengan melakukan ataupun
turut serta ataupun turut membantu melakukan kejahatan, akan memberikan
konsekuensi pertangungjawaban pidana terhadap seorang Akuntan Publik seperti
yang dijelaskan dalam pasal-pasal pidana tersebut di atas. Pemberian hukuman
yang bersifat sanksi administratif, secara hukum tidak dapat menghapuskan
akibat pidana yang diancamkan kepada seorang Akuntan Publik yang terbukti
melakukan ataupun terlibat dalam tindakan kejahatan penipuan ataupun pemalsuan
surat tersebut.
Jelas sikap
professional dari sang Akuntan Publik timbul bukan karena rangkaian ancaman
hukuman administratif, perdata dan bahkan pidana yang dapat menjeratnya dalam
hal terjadinya pelanggaran tersebut, akan tetapi lebih karena memang dunia
bisnis Indonesia membutuhkan suatu proses perjalanan yang sehat dan transparan,
sehingga dalam hal menyajikan suatu keberadaan suatu perusahaan melalui laporan
keuangannya tersebut, publik sangat membutuhkan akuntan publik yang benar-benar
mempunyai kemampuan yang baik, professional dan independen dalam menjamin maksimumnya
tingkat akurasi kebenaran dari hasil pernyataan pendapatnya terhadap Laporan
Keuangan tersebut.
Sumber :